Oleh: Edy Marhaen
Essensi merebut kemerdekaan itu sendiri bertujuan membebaskan diri belenggu imperialisme yang menunjukkan “hegemony” untuk menggali sumber daya alam Indonesia yang memiliki nilai kekayaaan ekonomi untuk mengisi kekosongan sumber-sumber ekonomi negara imperialis. Modal dasar dari perjuangan merebut kemerdekaan itu sendiri terletak pada keinginan untuk bersatu dari seluruh wilayah kepuluan nusantara yang mempunyai rasa senasib dan sepenanggungan yang memunculkan kesadaran kuat berbangsa dan bernegara ke dalam negara Republik Indoneisa
Setelah Republik Indonesia memproklamirkan diri pada 17 Agustus 1945 tidak serta merta mendapat pengakuan kedaualatan wilayah Indonesia seutuhnya . Pihak Belanda masih berkeinginan meguasai wilayah nusatara. Kondisi dunia pada saat itu kemerdekaan bukanlah hak segala bangsa tetapi sesuatu yang dijanjikan. Sekalipun pada saat itu lahirnya piagam PBB pada tanggal 27 Desember 1949, tetap belum mengakui hak bangsa terjajah untuk merdeka.
Diplomasi Kemerdekaan
. Pengakuan kedualatan sebagai negara Indonesia mengalami serangkaian pertemuan antara pihak Indonesia dan Belanda di meja perundingan . Perundingan bersejarah pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan 2 November 1949 melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda memberikan keputusan bahwa Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara merdeka dan berdaulat. Namun tidak termasuk Irian Barat didalam wilayah Indonesia. Belanda masih berpendapat kesukuan Irian Barat berbeda dengan Indonesia. Sedangkan Indonesia sendiri menginginkan agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia. Pada isi perjanjian KMB disebutkan masalah Irian Barat ditangguhkan dalam waktu 1 tahun berikutnya.
Walaupun masih meninggalkan ganjalan tentang Irian Barat, KMB diterima oleh pemimpin bangsa saat itu untuk mendapatkan kedualatan dari Belanda secara sah kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949, di dua tempat Belanda (oleh Ratu Juliana) dan di Jakarta. Persetujuan perjanjian KMB adalah langkah bagi para pemimpin bangsa ini untuk lebih dapat meningkatkan perjuangan diplomasi Indonesia merebut Papua di kemudian hari melalui kelembagaan negara “RIS” secara bilateral,regional dan international.
Perundingan KMB menjadi tonggak sejarah bagi Repulik ini melakukan politik luar negerinya. Politik luar negeri merupakan cerminan dari kepentingan nasonional yang dibawa ke luar negeri untuk mencapai tujuan nasional . Politik luar negri itu sendiri, tidak lepas dari sebuah peran diplomasi. Pada pidatonya tanggal 15 desember 1945, Bung Hatta mengatakan,”Diplomasai adalah muslihat yang bijaksana dengan perundingan untuk mencapai cita-cita banagsa. Diplomasi adalah tindakan politik internasional ,tetapi nyatalah,untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya dengan jalan diplomasi ,perlu ada gerakan yang kuat dalam negeri yang menjadi sendi tindakan diplomasi itu.
Sealaur dengan pengetian itu maka Presiden Soekarno melihat perundingan yang berbelit-belit mengatakan,” “Dari Sabang Sampai Mearuke” (17 Agustus 1950) memperingatkan akan terjadi konflik besar apabila dalam perundingan mengenai Irian Barat , dalam tahun ini tidak terdapat kesepakatan
Pasca konferensi Meja Bundar menghadapi persoalan Irian Barat, pemerintah Indonesia dan Belanda menempuh jalan diplomasi bilateral Uni Indonesia-Belanda dari tahun 1950, 1952 dan 1954. Namun Belanda tetap tidak mengakui Irian Barat sebagai bagian negara Indonesia. Kebuntuan dipomasi “Uni Belanda-Indonesia” tidaklah menyurutkan semangat untuk terus melakukan diplomasi. Teroboson melalui diplomasi ditingkat internasional melalui PBB pun dilakukan. Sidang Umum petama dilakukan tanggal 10 desember 1954. Namun upaya diplomasi ini tidak mendapatkan 2/3 suara dukungan yang diperlukan untuk mendesak Belanda. Meskipun diplomasi bilateral dan international belum menunjukkan hasi, sejarah mencatat “kegigihan ” para pemimpin Indonesia menempuh upaya diplomasi lain. Diplomasi di tingkat regional pun digelar melalui Konferensi Asia Afrika tahun 1955 yang diselenggarakan di Indonesia sebagai tindak lanjut Konferensi Colombo. Secara aklmasi 29 negara peserta konferensi mendukung upaya Indonesia untuk mendapatkan Irian Barat sebagai wilayah kedaulatan Indonesia. Diplomasi ini menunjukkan keberhasilan pemimpin bangsa ini menggalang “suara-suara internatioanal” menuju ke pangakuan kedualatan wilyah Indonesia secara untuh.
Satu diplomasi ke diplomasi lain yang dtempuh pemimpin Indonesia menunjukkan dua hal kepada dunia international, Pertama, bahwa para pemimpin bangsa Indonesia memilih jalan perdamaian untuk mengatasi kedaulatan wilyahnya, Kedua, tidak adanya kemauan dan etikat baik dari Belanda untuk menyelesaikannya Irian Barat.
Diplomasi dan Aksi Politik & Ekonomi RI
Berbelitnya jalur diplomasi bilateral dan international yang ditempuh membuat para pemimpin Indonesia melalukan tindakan tegas dan nyata . Pembatalan secara sepihak terhadap Uni Indonesia-Belanda dan perjanjian Konferensi Meja Bundar pada tahun 1956 serta membatalkan hubungan Indonesia dengan Belanda pada tanggal 3 mei 1956 melalui Undang-Undang No.13 Tahun 1956. Bahkan untuk menunjukkan kepada Belanda dan dunia international bahwa Indonesia sungguh-sunguh merebut Irian Barat dari Belanda, pada tanggal 17 Agustus 1956 dibentuklah pemerintahan sementara Irian Barat di Kota Soasiu, Tidore yang masih dikuasai Belanda pada saat itu. Zainal Abidin Syah diangakat sebagai pemangku jabatan gubernur. Dibalik pembentukan ibokota Irian Barat ini sebagai aksi persiapan penyusupan dan jalan penyerbuan pasukan Indonesia nantinya. Guna meningkatkan gerakan dan memperkuat persatuan rakyat Indonesai maka pada tanggal 10 februari 1958 pemerintah membentuk front Pembebas Irian Barat.
Pada saat yang sama pada dekade 1950-an , sektor ekonomi Indonesia masih didominasi oleh perusahaan-perusahan milik Belanda (ekonomi kolonial) Menghadapi situasi semacam itu,muncul berbagai pemikiran ekonomi dari para tokoh pemimpin Indonesia Muncul pandangan yang dikenal dengan ekonomi nasional atau nasionalisme ekonomi. Aspirasi yang menghendaki perubahan struktural yang mendasar kemudian memperoleh kesempatan untuk lebih terartikulasi ketika tercipta momentum akibat ketegangan hubungan Indonesia Belanda dalam masalah Irian Barat.. Gagalnya resolusi PBB tentang Irian Barat dan penguasaan kegiatan ekonomoi oleh perusahaan –perusahaan Belanda mengakibat memuncaknya kebencian (radikalisme) terhadap Belanda . Kondisi ini diresopn oleh pemerintah dengan mengelaurakan surat perintah tanggal 5 Desember 1957 pengusiran 46,000 warga Belanda yang ada di Indonesia. Berlanjut pada tanggal 13 Desember 1957, seluruh perusahaan Belanda diambil alih oleh Angkat Darat. Tindakan ini dilakukan oleh Angkatan Darat menghindari jatuhnya perusahaan-perusahaan itu ke tangan kaum komunis. Nasionalisasi ini menyebabkan terjadinya perubahan fundamental dalam struktur ekonomi Indonesia, Selama terjadinya nasionalisasi kepemilikan dari 90% produksi perkebunan beralih ke tangan pemerintah. Demikian juga dengan 60% nilai perdagangan luar negeri dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank-bank,perkapalan dan sektor jasa (Robison, 1986:72). Semua perusahaan yang diambil alih tidak diubah menjadi perusahaan swasta, namun menjadi perusahaan milik negara. Dalam bidang perekonomian, nasionalisasi mengakibatkan turunnya secara drastis pengaruh Belanda dalam ekonomi Indonesia. Menjelang akhir tahun 1958 pemerintah mengeluarkan peraturan resmi untuk menasionalisasikan semua perusahaan Belanda.(Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda, Menguatnya Peran Negara, 2001).
Akibat Konfrontasi politik dan ekonomi yang dilancarkan oleh Indonesia membuat Belanda makin bersikap keras dan tidak mau kalah. Belanda membentuk Dewan Papua untuk menyelenggarakan referendum. Mengirimkan pasukan dan kapal perangnya di perairan Irian. Bahkan Belanda menyatakan Irian Bagian Barat menjadi bagian wilayah Belanda dengan nama Nerderlands Nieuw Gunea.
Diplomasi dengan Cara Lain
Perang adalah pilihan akhir dari sebuah diplomasi. Bisa juga disebutkan perang adalah kelanjutan dari diplomasi dengan sarana lain. Ini juga sesuai dengan anggapan bahwa “diplomacy without power is like music without instrument.”
Tindakan Belanda mendirikan negara dalam negara itu direspon oleh pemerintah Indonesia . Pada tanggal 19 desember 1961 , Presiden Soekarno mengikrarkan Tri Komando Rakyat yang berisi pertama,gagalkan pembentukan negara Papua bikinan Belanda kolonial, kedua,Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Bara tanah air Indonesia, ketiga, Bersiaplah untuk mobilisasi umum.guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa. Mulai saat itu konfrotansi total dilancarkan oleh pemerintah Indonesia melalui operasi militer, Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Makasar.
Dengan perang ini dan penguasaan wilayah Papua oleh Indonesia , Pemerintah Indonesia memaksakan diplomasinya kepada Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia termasuk Papua Barat. Melalui Perjanjian New York (Agrement New York) yang diikuti dengan langkah “Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian Barar maka pada tangggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB menyetujui hasil PEPERA sehingga Irian Barat tetap bagian dari wilayah Republik Indonesia.
Kibarkan Diplomasi Merebut SDA
Jika kita melihat fase sejarah berdirinya negara ini yang dimulai tahun 1908, 1928 dan 1945 serta merebut perjuangan Irian Barat mempunyai hakekat yang sama. Mempertahankan kedaulatan negara Repulik Indonesia yang mempunyai kekayaan sumber daya alam untuk kepentingan bangsa sendiri sebagaiamana yang diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945,khusunya pada pasal 33.
Namun sering waktu berjalan melewati kemerdekaan, bangsa dan negara ini berjalan dengan membangun ekonomi nasionalnya secara perlahahan-lahan. Disisi lain “ekonomi kolonial” secara perlahan tetap berlangsung dibelahan dunia dengan mengubah bentuknya saja tanpa adanya penggunanaa kekuatan bersenjata (kekerasan).
Hal itu pernah diingatkan oleh Presiden Soekarno, “ Imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukan negeri atau bangsa lain, tetapi Imperialisme bisa juga nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa” (Indonesia menggugat). Kini imperialisme yang telah berubah bentuk itu telah menajalar di semua sektor kehidupan berbangsa. Di negeri ini tergambar dengan masuknya pemodal-pemodal asing ke Indonesia. Salah satu contoh pengesahan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) yang merupakan sebuah UU yang menunjukan keberpihakan terhadap Imperialisme (Nekolim) di Indonesia, selanjutnya UU sektoral tentang pertambangan, migas, perkebunan, kehutanan, , pangan, , sumber daya air,
Pengamat Ekonomi Kwik Kian Gie menyebutkan , “Dan kini hasilnya sudah hampir mencapai 92 persen perusahaan dan aset aset negara yang didapat melalui alam, sudah dikuasai oleh asing. Bagaimana mungkin ekonomi kerakyatan dikatakan maju,” (matanews.com 2 Agustus 2011). Imbas dari hadirnya Imperialisme ini sangat mengancam atas sumber kekayaan alam Indonesia yang berlimpah-limpah. Termasuk di tanah Papua yang tak pernah terpecahkan tingkat kesejahteraan masyaraktanya. Mengutip pernyataan M. Sobary ,” Tambang kita digali dan alam rusak, demi bangsa asing. Kita juga diam dan kaum intelektual pura-pura tidak tahu. Dan sekali lagi pejabat jelas diam karena mulutnya tersumpat dolar yang bisa menghidupi anak cucu (Koran Cetak Seputar Indonesia, 31 Oktober 2011).
Pemerintah sudah seharusnya menyadari kondisi di atas dan mengupayakan terselengaranya suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur tanpa pengaruh asing. Namun apa daya nasi sudah menjadi bubur. Kondisi yang dipaparkan di atas tidak bisa diperjuangkan dengan kekerasan yang akan mengundang kekerasan yang lebih berbahaya dan merugikan bangsa dan negara ini karena berhadapan dengan kekuatan asing yang luar biasa.
Cara untuk melakukan perubahan terhadap “penguasaan ekonomi asing terhadap sumber daya alam Indonesia dapat dilakukan melalui jalur diplomasi. Seperti yang dikatakan oleh Bung Hatta di atas …,dengan jalan diplomasi ,perlu ada gerakan yang kuat dalam negeri yang menjadi sendi tindakan diplomasi itu. Artinya pemimpin negara ini bersama rakyatnya harus sepakat dahulu tentang pengelolahan sumber daya alam itu harus dikembalikan penguasaannya ke negara Indonesia untuk kesejahteraan rakyat Indonesia yang tertinggal kesejahteraannya. Dengan tujuan itu lah peran diplomasi baru dapat dilaksanakan dan keberhasilannya sangat memungkinakan. Tujuan lah yang menjadi roh dan semangat dari peran sebuah diplamasi. Roh diplomasi itu pula yang membuktikan RI memperoleh pengakuan secara de facto dan de jure di dunia international dengan segala keterbatasan para pemimpin dan keterbatasan negara pada saat itu.
Secara empiris telah banyak dilakukan penelitian tentang sumber daya alam di atas, “ Adanya fenomena yang oleh ilmuan sosial sosial disebut sebagai kutukan sumber daya Alam (Resources Curse, Auty,1993). Negara-negara yang berkelimpahan dengan sumber daya alam seperti minyak dan gas , performa pembangunan ekonomi dan tata kelolah pemerintahannya (good governance) kerap kali lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara yang sumber daya alamnya lebih kecil. Secara paradox, meskipun muncul harapan besar akan munculnya kekayaan dan luasnya peluang yang menginiringi temuan dan ekstraksi minyak serta sumber daya alam lainnya, anugerah seperti itu kerap kali menjadi penghambat daripada menciptakan pembangunan yang stabil dan berkelanjutan….Masalah yang pertama muncul bahkan sebelum uang hasil dari kekayaan sumberdaya alam diterima negara negara yang bersangkutan. Pemerintah akan menghadapai tantangan berat saat berurusan dengan korporasi internasional yang memiliki kepentingan besar ….. (Escaping The Resources Curse,2007)
Sekarang tinggal kesadaran kita berbangsa dan bernegara untuk merebutnya kembali dari tangan asing bila ingin mencapai kesejahteran yang berkeadilan. Peran diplomasi “Resources Diplomacy atau Oil Diplomacy dapat digunakan. Seperti apa yang dilakukan khususnya oleh negara-negara Arab melakukan “Oil dipolamcy” pada tahun 1973 untuk meng-embargo minyak mentahnya ke negara-negara Barat dengan tujuan agar tidak membela Israel secara membabibuta. Bahkan periode itu dikenal dengan “Oil Shock”
Penulis merupakan Kepala Lembaga Kajian Ideologi GMNI Kota Pekanbaru
dan merupakan Mahasiswa Kriminalogi
di Universitas Islam Riau
Terbit di Haluan Riau, edisi 16 November 2011