Daily Archives: 20 November 2011

GMNI Pekanbaru Desak Revisi Kontrak Pertambangan

PEKANBARU:  Ketua DPC GMNI Pekanbaru, Provinsi Riau Josh Dowel mendesak Pemerintah bersama DPR RI agar segera merevisi secara total segala kerja sama kontrak eksplorasi maupun eksploitasi pertambangan di Indonesia.

“Dari kajian yang kami lakukan, rakyat sebagai ‘stakeholders’ (pemangku kepentingan) utama, tidak merasakan apa-apa dari berbagai usaha penggalian barang tambang kaliber besar,” katanya di Pekanbaru, Senin 31 Oktober 2011.

Yang diuntungkan, menurutnya, hanya kaum neokolonialisme-imperialisme (Nekolim) bersama jejaringnya, termasuk kalangan kapitalis-birokrat yang menempel atau memvirusi jaringan birokrasi pemerintahan.

Karena itu, Josh Dowel atas nama Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Pekanbaru, mendesak Pemerintah untuk mengkaji ulang dan merevisi, bahkan kalau perlu menasionalisasikan pemberian kontrak minyak dan gas (migas) maupun kegiatan tambang lainnya.

“Selain Migas, juga revisi ulang itu berlaku pada pertambangan emas, batu bara, dan bahan tambang lainnya yang bersumber dari alam di Indonesia yang tidak menguntungkan rakyat maupun negara dan sangat merugikan lingkungan,” tandasnya.

GMNI Pekanbaru juga mendesak Pemerintah agar segera merevisi Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia, dan segala UU yang bertentangan dengan konstitusi Negara (UUD 45).

“Kita semua harus kembali memeriksa dan mengaudit segala bentuk undang-undang yang ternyata nyata-nyata merugikan bangsa dan hanya menguntungkan kaum Nekolim,” tegas Josh Dowel. (antara)

 

Sumber : http://www.bisnis-sumatra.com/index.php/2011/11/gmni-pekanbaru-desak-revisi-kontrak-pertambangan/

GMNI PEKANBARU: NEKOLIM RAMPAS KEKAYAAN ALAM NUSANTARA

Pekanbaru, 30/10 (ANTARA) – Ketua DPC GMNI Pekanbaru, Josh Dowel mengatakan, pihaknya sangat prihatin akibat terus berlangsungnya perampasan kekayaan alam di Bumi Nusantara oleh para antek Nekolim dengan memanfaatkan aturan-aturan yang memang sengaja dibuat untuk kepentingan mereka.

“Para antek neo-kolonialisme-imperialisme (Nekolim) atau yang populer dengan istilah baru sebagai kelompok penganut neo-liberalisme` (Neolib) itu, benar-benar merasuk pola pikir serta kebijakan nasional untuk menggaruk kekayaan alam kita,” tandasnya di Pekanbaru, Minggu.

Ia mengatakan itu, masih terkait peringatan Hari Sumpah Pemuda 2011, yang dikatakannya mestinya diisi dengan sikap semakin heroik serta patriotis semua pemuda untuk menolak perampasan kekayaan Nusantara oleh pihak asing.
“Pada kesempatan ini, kami DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Pekanbaru, beserta seluruh alumni dan jajarannya di Nusantara, menyerukan kepada semua komponen Bangsa Indonesia untuk tetap mengedepankan semangat persatuan dalam membangun Indonesia,” tegasnya.

Dalam kaitan ini pula, lanjutnya, sebagaimana ikrar Sumpah Pemuda yang memperjuangkan bangsa dan Negara Indonesia dalam melepaskan diri dari tangan penjajah, seyogyanya spiritnya tetap lestari serta semakin didinamisasi. “Momentum Hari Sumpah Pemuda tahun ini kita semakin memperkuat tekanan untuk menolak pihak Nekolim dan jejaring asing lainnya yang terus saja bebas merampas kekayaan alam Indonesia,” tandasnya lagi.

Josh Dowel lalu menunjuk sejumlah depost kekayaan alam di Provinsi Riau, yang sebagian besar dikeruk untuk semakin memperkaya jejaring Nekolim maupun antek-antek asing, dan berkolaborasi dengan birokrasi bermental serakah.***5***

 

Sumber : ANTARA

PENDIDIKAN MAHAL : LIBERALISME ALA KAPITALIS

OLEH : JOSH DOWEL

Penyelenggaraan pendaftaran ulang Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi 2011 telah selesai. Jumlah peserta yang lolos SNMPTN mencapai 118.233 orang dari 540.953 orang yang mendaftar. Daya tampung PTN tahun ini meningkat dibandingkan tahun lalu yang hanya berjumlah 96.684 kursi. Sesuai dengan peraturan Menteri Pendidikan Nomor 34 Tahun 2010 tentang Pola Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana pada Perguruan Tinggi yang diselenggarakan Pemerintah menyebutkan bahwa, jumlah total mahasiswa yang diterima melalui SNMPTN akan mengisi 60% dari total daya tampung 60 PTN yang ada di seluruh Indonesia. Adapun 40 persennya akan diterima melalui jalur mandiri oleh masing-masing PTN yang biayanya sangat mahal.

Terbatasnya daya tampung perguruan tinggi itu sebenarnya bukan masalah pertama bagi lulusan SMU, tetapi masalah yang paling urgen adalah mahalnya biaya. Jenjang pendidikan tinggi yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua kalangan, ternyata hanyalah khayalan belaka. Mahalnya biaya membuat mereka yang kurang mampu mengurungkan cita-cita mengecap pendidikan tinggi. Wajar jika sekitar 60 % lulusan SMU mengaku tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi dan lebih memilih untuk mencari kerja.

Mahalnya biaya sekolah di perguruan tinggi bisa dilihat dari besarnya biaya masuk dan SPP tiap semesternya. SPP atau biaya operasional yang harus dibayar oleh mahasiswa di PTN banyak yang mencapai 5 juta persemester bahkan tidak sedikit yang jauh lebih besar dari angka itu. Sementara untuk uang masuk rata-rata mencapai puluhan juta bahkan untuk fakultas tertentu (kedokteran dan manajemen/bisnis) bisa lebih dari 100 juta. Parahnya lagi, biaya masuk yang begitu tinggi ternyata tidak juga sepadan dengan kualitas yang dihasilkannya, sehingga masih banyak lulusan perguruan tinggi yang menganggur.

Memang anggaran untuk fungsi pendidikan sudah mencapai 20% dari APBN yang tahun ini sebesar 248 triliun (20,2 % APBN). Dari jumlah itu, 158 triliun (60%) ditransfer ke daerah. Hanya 89 triliun yang dikelola pemerintah pusat yang disebar untuk 18 kementerian/lembaga. Yang dikelola Kemdiknas sendiri hanya 55 triliun yang dibagi untuk program pendidikan dasar 12,7 triliun (23%), pendidikan menengah 5 triliun (9,1%), dan pendidikan tinggi 28,8 triliun (51,9%). Anggaran Dikti (pendidikan tinggi) itu termasuk di dalamnya PNBP (penerimaan negara bukan pajak), sehingga terlihat sangat besar. Dan semua jumlah itu sebagian besarnya untuk gaji guru dan dosen.

Inilah pangkal masalah mahalnya biaya pendidikan itu. Yaitu negara ini menggunakan paradigma kapitalisme dalam mengurusi kepentingan dan urusan rakyat termasuk pendidikan. Ideologi Kapitalisme memandang bahwa pengurusan rakyat oleh Pemerintah berbasis pada sistem pasar (market based system). Artinya, Pemerintah hanya menjamin berjalannya sistem pasar itu, bukan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Dalam pendidikan, Pemerintah hanya menjamin ketersediaan sekolah/PT bagi masyarakat, tidak peduli apakah biaya pendidikannya terjangkau atau tidak oleh masyarakat. Pemerintah akan memberikan izin kepada siapa pun untuk mendirikan sekolah/PT termasuk para investor asing. Anggota masyarakat yang mampu dapat memilih sekolah berkualitas dengan biaya mahal. Yang kurang mampu bisa memilih sekolah yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah. Yang tidak mampu dipersilakan untuk tidak bersekolah.

Kebijakan minimalisasi pembiayaan pendidikan oleh negara itu diantaranya merupakan bagian dari agenda penjajahan. Di dalam Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001) disebutkan, “Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik”.

Persoalan ini memerlukan perhatian yang serius. Sebab, biaya pendidikan yang tinggi akan menimbulkan gap sosial dan ekonomi di masyarakat yang bisa menjebak negara masuk pada masalah yang jauh lebih rumit. Masalah yang paling krusial adalah penyelenggaraan pendidikan yang cenderung dikembangkan sebagai kegiatan bisnis. Hal itu terlihat dari banyaknya pengusaha yang tertarik menanamkan uangnya di lembaga pendidikan. Di kalangan masyarakat, juga tertanam pandangan memasuki pendidikan sebagai investasi individu atau keluarga. Yang lebih memprihatinkan adalah masih adanya pandangan mementingkan ijazah, bahkan diperjual-belikan, dibandingkan peningkatan kapasitas dari proses pendidikan.

Pendidikan tidak dimaknai secara luas sebagai pembangunan manusia bagi bangsa ini. Pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa terabaikan oleh pertimbangan komersial. Dunia pendidikan semestinya diarahkan perkembangannya untuk memajukan peradaban bangsa ini. Pemerintah dibentuk justru untuk mengambil bagian dari peran pengembangan pendidikan yang berkeadilan dengan membuka peluang bagi mereka yang kurang mampu. Hal ini penting, karena kualitas dan capaian pendidikan sangat terkait dengan kualitas sumber daya manusia yang mempunyai korelasi besar dalam bidang kesehatan, ketertiban, ekonomi, teknologi, bahkan demokratisasi.

Selama ini sudah terlalu banyak masalah mahalnya pendidikan dibicarakan, justru sekarang saatnya untuk bertindak memperbaiki keadaan. Sistem anggaran pendidikan harus diperbaiki di tingkat nasional maupun daerah, agar perguruan tinggi juga bisa dijangkau oleh mereka yang cukup cerdas tapi tak berduit.

SELAMATKAN PAPUA SELAMATKAN BANGSA INDONESIA

Oleh : JOSH DOWEL

Meningkatnya eskalasi keamanan di Papua akhir-akhir ini, yang diakibatkan permasalahan front bersenjata dari kelompok sipil bersenjata di Puncak Jaya maupun Timika, termasuk akumulasi hasil Kongres Rakyat Papua III di Jayapura. Menambah sejarah buruk Pemerintah Indonesia dalam penanganan konflik Papua yang tidak kunjung selesai.

Papua merupakan wilayah yang tidak terpisahkan dari NKRI , perjuangan pembebasan Irian Barat dari Kolonial Belanda berlangsung cukup lama yakni sejak KMB (1948) sampai dengan penentuan pendapat rakyat (Pepera1962). Perjuangan secara politik dilakukan melalui perundingan secara langsung dengan Belanda, diplomasi lewat PBB, gerakan pemogokan, dan nasionalisasi perusahaan milik Belanda di Indonesia. Konfrontasi secara militer, dicetuskan melalui rapat umum di Yogyakarta. Sangat disayangkan apabila Papua dilarutkan dengan konflik gonjang ganjing sejarah masa lalu  yang notabene hanyalah obat pereda yang digunakan kelompok tertentu yang tidak disadari turut mengamankan kepentingan modal untuk tetap aman berinvestsasi di Papua.

Ditengah maraknya upaya-upaya untuk makin membedakan Papua dengan Indonesia yang bertujuan untuk memisahkan Bumi Cendrawasih tersebut dengan NKRI,  pemerintah telah melakukan serangkaian program yang merupakan bagian dari rencana pemberian Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001. Pemberian Otsus tersebut juga ditunjang oleh dana dalam jumlah besar. Namun disayangkan dana yang dikucurkan pada tahun 2001 hingga 2011, dengan total berjumlah Rp 28 triliun lebih tersebut, hingga kini belum memberikan perubahan signifikan bagi rakyat Papua.

Berdasarkan penelitian dan  kajian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),  diketahui ada empat permasalahan yang menyebabkan Papua rawan bergejolak. Pertama, marjinalisasi terhadap masyarakat asli Papua. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan yang dialami masyarakat dalam hubungan daerah dengan pusat. Kedua, kegagalan pembangunan yang bisa dilihat dari ketidaksetaraan hasil pembangunan, padahal daerah itu kaya hasil tambang. Yang ketiga persoalan status politik Papua, dan keempat masalah pelanggaran        HAM. Isu-isu sensitif seperti pelanggaran HAM, bisa menjadi ’jualan yang efektif’ gerakan sparatis bahwa mereka tidak nyaman berada dalam NKRI karena tidak ada keadilan dalam mengusut tuntas kasus HAM. Oleh karenanya harus ada penyelesaian dengan pengadilan langsung dan terbuka bagi pelaku pelanggaran HAM.

Papua yang sangat kaya akan sumber daya alamnya justru masyarakatnya miskin, ini dibuktikan dengan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi baik didalam pembangunan maupun ekonomi rakyat Papua hingga saat ini. Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua, dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini, justru tidak memajukan Papua dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua.

Sejak awal kehadiran PT FI di Mimika (Kontrak Karya I, 7 April 1967) telah memicu konflik-konflik baru, utamanya dengan masyarakat adat setempat (Suku Amungme dan Komoro). Perlakuan yang tidak akomodatif dari pemerintah dan PT FI terhadap tuntutan masyarakat setempat mengakibatkan protes-protes yang terus-menerus baik dilakukan secara terbuka maupun secara laten.

Masalah pengelolaan kekayaan alam dan pendistribusian kekayaan yang tidak merata dan tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat di wilayah tempat kekayaan alam itu berada sebenarnya bukan khas masalah Papua. Masalah itu juga dialami oleh semua wilayah negeri ini, bahkan yang di pulau Jawa sekalipun. Daerah Cepu, Cikotok, Indramayu dan lainnya yang disitu minyaknya disedot dan atau emasnya dikeruk, masyarakatnya juga tidak bisa menikmati hasil dari kekayaan alam di wilayah mereka itu. Banyak masyarakat di daerah itu yang masih didera kemiskinan dan keterbelakangan. Sebabnya tidak lain karena kebijakan pengelolaan perekonomian ala kapitalis yang menyerahkan kekayaan alam itu kepada swasta dan terutama asing. Sehingga pihak swasta asing itulah yang paling menikmati hasil dari kekayaan yang merupakan milik rakyat negeri ini secara keseluruhan itu.

Maka selama pengelolaan kekayaan alam masih menggunakan model ekonomi kapitalisme maka keadaan ketidakadilan ekonomi semacam itu akan terus terjadi. Kekayaan negeri tatap tidak akan terdistribusi secara merata. Kesenjangan akan tetap menganga. Karena itu kemerdekaan bukanlah solusi untuk menghilangkan ketidakadilan ekonomi itu. Malah kemerdekaan bisa menjadi pintu yang lebih lebar bagi penetrasi lebih dalam bagi pengelolaan ekonomi menurut model kapitalisme. Apalagi jika kemerdekaan itu atas belas kasihan (bantuan) asing, dalam hal ini misalnya Inggris atau eropa pada umumnya dan Australia. Dengan mereka keberadaan AS dengan perusahaan multinasionalnya tidak serta merta bisa diakhiri, sebaliknya dengan merdeka justru membuka ruang bagi masuknya kepentingan Inggris (Eropa) dan Australia. Itu artinya dengan merdeka, justru Papua justru makin menjadi jarahan pihak asing. Dan hampir dapat dipastikan bahwa model pengelolaan ekonominya juga akan tetap model kapitalisme dan karenanya penjarahan kekayaan bumi Papua nantinya justru akan makin merajalela.

Proklamasi adalah puncak perjuangan yang dilakukan oleh para pendiri bangsa. Pada hakikatnya, proklamasi adalah simbol terlepasnya segala belenggu penjajahan yang telah lama dirasakan. Akan tetapi, setelah proklamasi bukan berarti Indonesia lepas dari segala permasalahan. Perjuangan awal kemerdekaan setelah proklamasi justru menjadi batu ujian sejauh mana perjuangan dan kesadaran berbangsa dari setiap rakyat. Dengan demikian mempertahankan Papua sebagai bagian dari NKRI adalah tugas semua elemen bangsa sebagaimana telah direbut oleh para pendiri bangsa kita.  Pemerintah  juga sebagai pemegang kebijakan harus lebih serius memperhatikan dan meningkatkan kesejahtera Papua. Turut menyertakan lembaga-lembaga international untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan kedaulatan wilayah NKRI bukanlah solusi yang tepat, malah akan menimbulkan kekacauan yang akan berlarut-larut. Merivisi kontrak-kontrak perusahaan asing yang ada di Indonesia merupakan langkah awal yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia terutama dalam permasalahan Papua dengan PT Freeport Indonesia.  Penting ditekankan bahwa urgensi Papua di dalam NKRI bukan karena di perut buminya tersimpan kekayaan mineral yang sangat besar atau hutannya yang ditumbuhi kayu kualitas terbaik, akan tetapi oleh karena Papua adalah bagian dari NKRI. Oleh sebab itu, kalaupun umpama Papua tidak memiliki apa-apa, ne­gara berkewajiban mengembangkan dan menjaganya agar tetap berada di dalam pangkuan Ibu Pertiwi. De­ngan demikian, pendekatan kesejahteraan dan keadilan adalah sesuatu yang memang harus dilakukan.

REVITALISASI PANCASILA SEBAGAI JAWABAN PERMASALAHAN KEBANGSAAN

Oleh: Josh Dowel

Pancasila yang dijadikan sebagai dasar negara, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia selama ini, sepertinya semakin dipertanyakan. Semangat bernegara yang bersendikan nilai-nilai pancasila sudah tergerus oleh arus globalisasi yang membawa karakter bangsa ini menjadi individualistis dan liberal. Kita sebagai bangsa tidak lagi mampu menjadikan pancasila sebagai benteng untuk menahan arus globalisasi yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai pancasila. Menjamurnya prilaku korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan elit-elit politik ditambah lagi dengan maraknya gerakan-gerakan radikal yang secara nyata menimbulkan kerisauan di bumi pertiwi ini dan sekaligus mempertanyakan eksistensi pancasila itu sendiri.

Secara yuridis pancasila menjiwai UUD 45 yang merupakan landasan konstusional bangsa Indonesia. Sebagai landasan konstusional, UUD 45 haruslah sebagai dasar dari segala bentuk peraturan hukum agar maksud dan tujuan pancasila dapat tercapai melalui bentuk penjabaran norma-norma hukum. Tetapi faktanya, produk-produk hukum saat ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai pancasila, hal ini terjadi dikarenakan pejabat-pejabat yang berwenang telah kehilangan pedoman untuk memahami tafsir pancasila sebagai sumber hukum.

Pada kondisi saat ini banyak persoalan-persoalan bangsa yang tidak kunjung selesai, ini merupakan wujud lunturnya nilai-nilai pancasila dari jiwa bangsa Indonesia. Sebenarnya semua persoalan itu dapat terselesaikan dengan membentuk karakter sebagai identitas sebuah bangsa. Sebuah karakter yang dapat membuat bangsa ini lebih baik, memiliki pendirian yang teguh dan karakter itu bernama pancasilais.

Pancasila adalah kristalisasi inti peradaban nusantara, rumusan filosofis-ideologis yang bertolak dari kesadaran sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia dalam menghadapi masa depannya. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk senantiasa menyegarkan ingatan, memperkuat keyakinan, mempertajam cara pandang, serta membangun jatidiri dan watak kita sebagai bangsa yang pancasilais, baik sebagai nilai-nilai hidup keseharian, maupun sebagai asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila membuktikan “BHINNEKA TUNGGAL IKA” bukan slogan kosong semata. Tuhan yang memberi kita kesempatan untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Negeri yang indah dan ramah, yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian.

Namun, potret perjalanan Pancasila juga menampakkan sisi-sisi sebaliknya. Kita mengetahui bagaimana Pancasila dipertanyakan, dipersoalkan, dipertentangkan, bahkan diselewengkan. Lebih dari itu, Pancasila juga telah dimaknai secara berlebihan, sehingga ada banyak mitos-mitos yang dikaitkan dengan Pancasila. Kita tidak bisa menghindar dari kecenderungan munculnya berbagai bentuk penafsiran dan penentangan. Antara dukungan dan penolakan adalah dua hal yang selalu menyertai perjalanan sejarah Pancasila. Singkat kata, Pancasila terdinamisasi oleh pasang-surut dan pasang-naik sikap kita.

Pada era reformasi ini, terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Bahkan, untuk dan atas nama reformasi itu telah dilakukan empat kali amandemen konstitusi, yakni perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945. Amandemen itu telah berakibat luas pada sistem ketatanegaraan kita. Banyak kalangan menganggap prinsip-prinsip liberalisme cenderung mewarnai proses perubahan tersebut. Proses amandemen ini haruslah kita cermati sungguh-sungguh, karena dalam proses itu terbuka kemungkinan masuknya tujuan-tujuan yang tidak sejalan dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Kewajiban kita semua untuk mengevaluasi proses reformasi ini, sehingga tidak menyimpang dari cita-cita para pendahulu kita.

Ini adalah era penting bagi bangsa Indonesia untuk menemukan kembali kesadaran historis, kesadaran kolektif, dan kesadaran akan masa depannya. Era demokrasi memungkinkan Pancasila dievaluasi secara kritis, direvitalisasi, bahkan direinterpretasi. Kita harus menyadari bahwa Pancasila tidak sekadar legitimasi konstitusional sebagai syarat sah berdirinya sebuah negara, tetapi lebih dari itu, Pancasila haruslah benar-benar menjadi pandangan hidup di kalangan masyarakat, menjadi praksis sosial yang merekatkan seluruh keragaman yang kita miliki sejak beribu-ribu tahun yang lalu.

Kita menyadari betapa berat persoalan yang dihadapi oleh bangsa kita. Berbagai persoalan muncul silih berganti, seakan tiada henti-henti. Dalam konteks Ipolek-sosbud-hankam hampir semua aspek mengalami degradasi. Penyelesaian kasus per-kasus yang dilakukan tidak menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya. Lemahnya rasa persatuan dan kesatuan menjadi ancaman setiap saat yang dapat muncul. Mungkin kita bertanya, apa mungkin Pancasila menjadi solusi masalah bangsa. Bagaimana mungkin? Tapi kita harus sadari, bahwa momen daripada detik-detik proklamasi yang hanya sesaat itu telah mengubah segalanya, dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka, walaupun tidak disertai perubahan-perubahan fisik. Ini menyangkut sikap mental, menyangkut watak dan kepribadian, menyangkut nurani kita. Sebuah perubahan yang berbasis pada spirit kebangsaan daripada ketercukupan materi.

Dengan demikian yang terpenting dari semua persoalan bangsa kita adalah bagaimana kita secara bersama-sama, segenap warga bangsa, membangun satu visi dan misi kesejarahan kita, yakni di dalam satu arah dan tujuan yang satu. Arah dan tujuan dari kemerdekaan nasional kita. Sehingga kita terhindar dari benturan arah dan tujuan yang satu sama lainnya berseberangan. Bangsa ini terlalu heterogen untuk dibiarkan berada pada tujuannya masing-masing. Konflik kepentingan, ketegangan antar umat beragama, diskriminasi kesukuan, kedaerahan dan sebagainya harus kita akhiri. Seharusnya Pancasila digunakan untuk menjalin semangat kebersamaan, saling menghormati dan semangat gotong royong yang sudah tersemayam di dalam jiwa bangsa Indonesia sejak dulu.

Ke depan, guna menguatkan pancasila sebagai vision of state, pemerintah harus segera merevitalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Merevitalisasi Pancasila berarti menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila yang sesungguhnya berada dalam tataran filsafat harus diturunkan ke dalam hal-hal yang sifatnya dapat diimplementasikan. Sebagai ilustrasi, nilai sila kedua Pancasila harus diimplementasikan melalui penegakan hukum yang adil dan tegas. Contoh, aparat penegak hukum harus tegas dan tanpa kompromi menindak pelaku kejahatan, termasuk koruptor. Tanpa penegakan hukum yang tegas, Pancasila hanya rangkaian kata-kata tanpa makna dan nilai serta tidak mempunyai kekuatan apa-apa.

 

Terbit Di Metro Riau Edisi 1 Juni 2011

GMNI Pekanbaru : Ajak Kembali Ke Pancasila

Puluhan Aktivis GMNI Pekanbaru, Lakukan Aksi Teatrikal Dalam Memperingati Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni 1945, DiBundaran Gubernur Riau,  Rabu (1/6).

Foto : Riau Terkini

Dalam aksinya, GMNI berpendapat banyak praktik kenegaraan sekarang ini semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila, sehingga harus ada upaya dari semua pihak untuk kembali ke dasar negara bangsa tersebut.

Ketua DPC GMNI Pekanbaru, Josh Dowel mengatakan bahwa tujuan dari aksi adalah untuk kembali mengingatkan bahwa Pancasila tetap merupakan dasar negara yang paling ideal. Banyak praktik kenegaraan yang semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila, untuk itu upaya penguatan nilai Pancasila harus dilakukan oleh semua elemen Bangsa Indonesia,        ” tegas Josh.

Aksi yang dilakukan merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Lahir Pancasila yang ditaja GMNI. sebelumnya GMNI melakukan dialog interaktif di RRI, dan sorenya dilanjutkan dengan diskusi kader di Wisma Juang GMNI, ” tambah Josh.

Sumber : Riau Pos edisi 2 Juni 2011