Oleh: Josh Dowel
Pancasila yang dijadikan sebagai dasar negara, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia selama ini, sepertinya semakin dipertanyakan. Semangat bernegara yang bersendikan nilai-nilai pancasila sudah tergerus oleh arus globalisasi yang membawa karakter bangsa ini menjadi individualistis dan liberal. Kita sebagai bangsa tidak lagi mampu menjadikan pancasila sebagai benteng untuk menahan arus globalisasi yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai pancasila. Menjamurnya prilaku korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan elit-elit politik ditambah lagi dengan maraknya gerakan-gerakan radikal yang secara nyata menimbulkan kerisauan di bumi pertiwi ini dan sekaligus mempertanyakan eksistensi pancasila itu sendiri.
Secara yuridis pancasila menjiwai UUD 45 yang merupakan landasan konstusional bangsa Indonesia. Sebagai landasan konstusional, UUD 45 haruslah sebagai dasar dari segala bentuk peraturan hukum agar maksud dan tujuan pancasila dapat tercapai melalui bentuk penjabaran norma-norma hukum. Tetapi faktanya, produk-produk hukum saat ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai pancasila, hal ini terjadi dikarenakan pejabat-pejabat yang berwenang telah kehilangan pedoman untuk memahami tafsir pancasila sebagai sumber hukum.
Pada kondisi saat ini banyak persoalan-persoalan bangsa yang tidak kunjung selesai, ini merupakan wujud lunturnya nilai-nilai pancasila dari jiwa bangsa Indonesia. Sebenarnya semua persoalan itu dapat terselesaikan dengan membentuk karakter sebagai identitas sebuah bangsa. Sebuah karakter yang dapat membuat bangsa ini lebih baik, memiliki pendirian yang teguh dan karakter itu bernama pancasilais.
Pancasila adalah kristalisasi inti peradaban nusantara, rumusan filosofis-ideologis yang bertolak dari kesadaran sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia dalam menghadapi masa depannya. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk senantiasa menyegarkan ingatan, memperkuat keyakinan, mempertajam cara pandang, serta membangun jatidiri dan watak kita sebagai bangsa yang pancasilais, baik sebagai nilai-nilai hidup keseharian, maupun sebagai asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila membuktikan “BHINNEKA TUNGGAL IKA” bukan slogan kosong semata. Tuhan yang memberi kita kesempatan untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Negeri yang indah dan ramah, yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian.
Namun, potret perjalanan Pancasila juga menampakkan sisi-sisi sebaliknya. Kita mengetahui bagaimana Pancasila dipertanyakan, dipersoalkan, dipertentangkan, bahkan diselewengkan. Lebih dari itu, Pancasila juga telah dimaknai secara berlebihan, sehingga ada banyak mitos-mitos yang dikaitkan dengan Pancasila. Kita tidak bisa menghindar dari kecenderungan munculnya berbagai bentuk penafsiran dan penentangan. Antara dukungan dan penolakan adalah dua hal yang selalu menyertai perjalanan sejarah Pancasila. Singkat kata, Pancasila terdinamisasi oleh pasang-surut dan pasang-naik sikap kita.
Pada era reformasi ini, terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Bahkan, untuk dan atas nama reformasi itu telah dilakukan empat kali amandemen konstitusi, yakni perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945. Amandemen itu telah berakibat luas pada sistem ketatanegaraan kita. Banyak kalangan menganggap prinsip-prinsip liberalisme cenderung mewarnai proses perubahan tersebut. Proses amandemen ini haruslah kita cermati sungguh-sungguh, karena dalam proses itu terbuka kemungkinan masuknya tujuan-tujuan yang tidak sejalan dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Kewajiban kita semua untuk mengevaluasi proses reformasi ini, sehingga tidak menyimpang dari cita-cita para pendahulu kita.
Ini adalah era penting bagi bangsa Indonesia untuk menemukan kembali kesadaran historis, kesadaran kolektif, dan kesadaran akan masa depannya. Era demokrasi memungkinkan Pancasila dievaluasi secara kritis, direvitalisasi, bahkan direinterpretasi. Kita harus menyadari bahwa Pancasila tidak sekadar legitimasi konstitusional sebagai syarat sah berdirinya sebuah negara, tetapi lebih dari itu, Pancasila haruslah benar-benar menjadi pandangan hidup di kalangan masyarakat, menjadi praksis sosial yang merekatkan seluruh keragaman yang kita miliki sejak beribu-ribu tahun yang lalu.
Kita menyadari betapa berat persoalan yang dihadapi oleh bangsa kita. Berbagai persoalan muncul silih berganti, seakan tiada henti-henti. Dalam konteks Ipolek-sosbud-hankam hampir semua aspek mengalami degradasi. Penyelesaian kasus per-kasus yang dilakukan tidak menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya. Lemahnya rasa persatuan dan kesatuan menjadi ancaman setiap saat yang dapat muncul. Mungkin kita bertanya, apa mungkin Pancasila menjadi solusi masalah bangsa. Bagaimana mungkin? Tapi kita harus sadari, bahwa momen daripada detik-detik proklamasi yang hanya sesaat itu telah mengubah segalanya, dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka, walaupun tidak disertai perubahan-perubahan fisik. Ini menyangkut sikap mental, menyangkut watak dan kepribadian, menyangkut nurani kita. Sebuah perubahan yang berbasis pada spirit kebangsaan daripada ketercukupan materi.
Dengan demikian yang terpenting dari semua persoalan bangsa kita adalah bagaimana kita secara bersama-sama, segenap warga bangsa, membangun satu visi dan misi kesejarahan kita, yakni di dalam satu arah dan tujuan yang satu. Arah dan tujuan dari kemerdekaan nasional kita. Sehingga kita terhindar dari benturan arah dan tujuan yang satu sama lainnya berseberangan. Bangsa ini terlalu heterogen untuk dibiarkan berada pada tujuannya masing-masing. Konflik kepentingan, ketegangan antar umat beragama, diskriminasi kesukuan, kedaerahan dan sebagainya harus kita akhiri. Seharusnya Pancasila digunakan untuk menjalin semangat kebersamaan, saling menghormati dan semangat gotong royong yang sudah tersemayam di dalam jiwa bangsa Indonesia sejak dulu.
Ke depan, guna menguatkan pancasila sebagai vision of state, pemerintah harus segera merevitalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Merevitalisasi Pancasila berarti menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila yang sesungguhnya berada dalam tataran filsafat harus diturunkan ke dalam hal-hal yang sifatnya dapat diimplementasikan. Sebagai ilustrasi, nilai sila kedua Pancasila harus diimplementasikan melalui penegakan hukum yang adil dan tegas. Contoh, aparat penegak hukum harus tegas dan tanpa kompromi menindak pelaku kejahatan, termasuk koruptor. Tanpa penegakan hukum yang tegas, Pancasila hanya rangkaian kata-kata tanpa makna dan nilai serta tidak mempunyai kekuatan apa-apa.
Terbit Di Metro Riau Edisi 1 Juni 2011